Menanti Ajal
Friday, July 15, 2011
Edit
Kulihat kakek sekarang sudah renta, terbujur lemas di ranjang tua peninggalan Jepang. Otot-ototnya sudah tak sekuat dulu, kulitnya pun sudah mulai mengendor dengan ribuan kerut menghiasi seluruh wajah sampai ke ujung kakinya. Hanya sebuah radio kecil milikku yang menjadi mainan kakek sekarang. Dari samping pintu dengan sedikit sembunyi biasanya aku mengamati kakek dengan seksama, sepertinya berbeda sekali ketika beberapa tahun yang lalu. Aku masih ingat ketika kakek mengajakku menggembalakan kambing-kambingnya ditengah padang rumput yang gersang itu. Kakek selalu bercerita tentang perjuangannya dulu ketika menghadapi tentara jepang maupun sekutu.Kakek selalu menggendongku ketika aku mulai kepayahan dan sedikit menghiburku dengan tembang-tembang macapat yang aku tak mengerti apa isinya itu. Tapi kata kakek tembang macapat itu penuh dengan arti dan nasehat yang bisa mengubah sifat seorang dimasa yang akan datang. Mungkin kakek ingin suatu saat nanti aku menjadi orang yang berguna baik untuk keluarga maupun untuk bangsa.Yah...begitulah kegiatan kami menghabiskan hari dengan kegiatan yang membosankan tapi penuh makna. Tapi sekarang kakek hanya bisa batuk dan dengan suara paraunya itu terkadang kakek membuatku takut.
Ibu tak pernah bilang padaku tentang sakit yang diderita kakek, ibu hanya bilang kakek sudah tua dan sudah tidak sanggup untuk beraktivitas seperti biasa lagi. Aku hanya berpikir apakah kelak jika ku sudah tua seperti kakek, aku juga akan mengalami hal yang sama? Tiap hari berbaring di ranjang tua dengan sebuah radio, berhias kerut diwajah dan suara yang mulai parau. Tapi tentu hal itu masih lama, yah.. karena saat ini aku baru berusia 8 tahun. Namun semua hal itu pasti akan menungguku dikemudian hari, dan semua manusia pun juga pasti akan mengalaminya bukan?
Dikamar yang pengap itu kakek menghabiskan seluruh hari disisa-sisa hidupnya. Bau amis kadang tercium sangan menyengat ketika aku lewat didepan kamar kekek.sekarang kakek sudah seperti adi bayi. Kadang ia menangis sendiri tanpa sebab, tapi juga bisa tertawa cekikikan disertai suara batuk yang menyusulnya. Mungkin kakek sudah tahu kalau kematian sudah didepan mata sehingga ia berusaha mengingat-ingat kehidupannya di masa lalu yang menyebabkan ia bisa menangis dan kadang tertawa. Yang aku tahu kakek itu orangnya baik, kuat, namun keras. Sifat kerasnya ini mungkin ia temukan ketika dulu menjadi pejuang dan berperang melawan penjajah.
Dengan nafas yang sudah mulai tersengal-sengal kakek berusaha untuk berbicara. Namun aku tak tahu apa yang dibicarakannya pada saat itu. Aku hanya diam dan sedikit sembunyi dibalik badan ibu. Saat itu suasana mulai mencekam. Sudah banyak orang-orang diluar dan para tetangga mulai berkumpul. Mungkin ini akhir dari perjalanan kehidupan kakek. Selang berapa lama tubuh kakek tergeletak kaku diatas ranjang tuanya sambil memegang erat radio kecil miliku. Astaghfirullahal ‘azim...tubuhku mengeras, siap meledak.