Cerit Rakyat dari Bali : Pengorbanan Seorang Puteri
Wednesday, January 21, 2015
Edit
Pada zaman dahulu kala ada sepasang suami istri yang dikenal dengan sebutan Pan Tuwung Kuning dan Men Tuwung Kuning. Pan adalah sebutan bagi seorang bapak dan men sebutan bagi seorang ibu. Karena mereka hanya mempunyai satu anak laki-laki bernama Tuwung Kuning, amak suami istri itu dipanggil Pan Tuwung Kuning dan Men Tuwung Kuning.
Pan Tuwung Kuning mempunyai kegemaran mengadi ayam. Jumlah ayam aduannya banyak sekali sehingga memaksa istrinya untuk mengurusnya. Setiap siang suaminya hanya mengadu jago namun selalu kalah. Hal tersebut membuat rumah tangga mereka menjadi kacau dan suasana menjadi tidak tentram karena dalam keluarga tersebut sering terjadi pertengkaran. Keadaan seperti ini sangat susah diperbaiki, ditambah lagi seorang anak yang mereka idam-idamkan tidak kunjung datang.
Pada suatu hari Pan Tuwung berkata kepada istrinya, "Istriku, jika engkau melahirkan anak kelak dan ternyata anak itu laki-laki, ia akan kujadikan sebagai penggantiku dan meneruskan pekerjaanku sebagai pengadu ayam. Akan tetapi jika nanti anak kita perempuan, maka ia akan aku korbankan dan kujadikan dia sebagai makanan jagoku yang paling aku sayang."
Tidak menunggu lama, akhirnya istri Pan Tuwung hamil. Namun keadaan yang seharusnya menggembirakan ini menjadi pilu karena istrinya was-was dan kuatir. Ia takut jika nanti anak yang dikandungnya ternyata perempuan akan dijadikan korban.
Setiap hari selama mengandung Men Tuwung Kuning selalu berdoa agar kelak anak yang dilahirkan adalah seorang laki-laki. Namun ternyata kehendak Tuhan lain. Setelah tiba waktunya, Men Tuwung Kuning melahirkan seorang bayi perempuan yang lucu dan manis dan diberi nama Tuwung Kuning.
Kebetulan pada saat itu Pan Tuwung Kuning sedang bepergian jauh. Orang yang mendampingi Men Tuwung Kuning pada saat itu hanyalah ibunya.
"Bagaimana kalau bayi ini disembunyikan di rumah saya?" kata ibu Men Tuwung Kuning.
"Saya setuju, kalau begitu tolong bawa dan smebunyikan bayi ini di rumah ibu," jawab men Tuwung Kuning.
Lalu bayi itu dibawa pergi dari rumah Men Tuwung Kuning, sedangkan yang diberikan kepada ayam jago kesayangan suaminya hanyalah air-airnya.
Malam hari suaminya pulang dan langsung menanyakan tentang kelahiran anaknya. "Bagaimana? Anak kita laki-laki atau perempuan?" tanya Pan Tuwung Kuning.
"Perempuan," jawab Men Tuwung Kuning.
"Dimana dia sekarang?" sambung suaminya.
"Sudah aku sembelih dan aku korbankan sebagai makanan kepada jago-jago kesayanganmu."
Mendengar jawaban ini, puaslah hati suaminya. Namun, malam hari ayam kesayangannya berkokok dan berbicara, "Kukuruyuukkk...! Men Tuwung Kuning punya anak perempuan, tetapi aku hanya diberi makan air-airnya saja."
Ayam jago itu berkokok berulang-ulang. Mendengar hal tersebut, Pan Tuwung Kuning menjadi sangat marah dan ingin sekali membunuh istrinya. Akan tetapi sebelum niatnya dilaksanakan, ia kembali mendengar kokok ayam jagonya.
"Kukuruyuuukkk...! Anak Men Tuwung Kuning disembunyikan di rumah neneknya."
Mendnegar itu, Pan Tuwung Kuning bertambah marah. Ia lalu memerintahkan istrinya untuk mengambil kembali anaknya yang berada di rumah neneknya itu.
Keesokan harinya Men Tuwung Kuning lalu pergi ke rumah ibunya untuk mengambil anaknya. Setiba di sana Men Tuwung Kuning terkejut, karena didapatinya anak yang baru lahir kemarin telah berubah secara gaib menjadi seorang gadis remaja yang cantik dan pandai menenun kain. Ketika Tuwung Kuning mengetahui ibunya datang, lalu ia berkata, "Ibu, tunggu dulu sampai lusa, karena aku sedang menenun kain untuk pembungkus jenasahku nanti."
Dengan perasaan sedih Men Tuwung Kuning pulang dengan tangan hampa. Setelah tiba di rumah, ia segera di maki-maki oleh suaminya Pan Tuwung Kuning. Dua hari kemudian, dengan berat hati terpaksa Men Tuwung Kuning kembali menjemput anaknya. Di depan anaknya Men Tuwung Kuning berkata, "Wahai putriku Tuwung Kuning, cepat-cepatlah kau menenun kain. Ayahmu sudah selesai mengasah pedang untuk segera membunuhmu."
"Ibuku sayang, tunggulah dua hari lagi agar aku dapat menyelesaikan sehelai selendang untuk bekal matiku." jawab Tuwung Kuning dengan suara lembut.
Lalu Men Tuwung Kuning pulang ke rumahnya dnegan sedih. Setibanya dirumah, seperti biasa Men Tuwung Kuning kembali dimaki-maki oleh suaminya. Dua hari kemudian, pagi-pagi sekali suaminya berangkat sendiri ke rumah mertuanya. Ia membawa sebilah pedang yang sudah diasah dnegan tajam. Setiba di rumah mertuanya, ia menjadi sangat tercengang karena melihat putrinya yang amat cantik.
"Ayahku tercinta," sambut Tuwung Kuning melihat kedatangan ayahnya, "kini aku sudah siap memenuhi keinginanmu, tetapi dengan syarat sebagai berikut; yang pertama ayah harus membawa aku ke hutan. Setelah menemukan pohon yang terbesar di dalam hutan, di situlah ayah dapat membunuhku."
Sebelum berangkat, Tuwung Kuning memakai pakaian barunya yang beberapa hari lalu ditenunnya sendiri. Kemudian Pan Tuwung Kuning dan putrinya berjalan ke hutan. Setelah berjalan satu hari lamanya, sampailah mereka di sebuah pohon besar di tengah hutan.
"Tuwung Kining, bersiap-siaplah. Di sini engkau akan mati," demikian perintah ayahnya. Akan tetapi putrinya menolak dan berkata, "Ayah, aku tidak mau mati di sini. Pohon itu bukanlah pohon terbesar di hutan ini.
Pan Tuwung Kuning menerima penolakan anaknya. Kini mereka pun melanjutkan perjalanan sampai mereka menemukan pohon yang paling besar di hutan itu.
"Nah, Ayah, sekarang aku sudah siap untuk mati," kata Tuwung Kuning. Tolong ambilkan batang pohon pisang untuk bantak aku ayah."
Setelah berbaring, Tuwung kuning lalu berkata, "Ayah, sekarang sudah bisa dimulai."
Dengan mata yang berapi-api lalu dihunuslah pedang Pan tuwung Kuning dan bersiap untuk menyembeluh putrinya itu. Tetapi tiba-tiba tubuh Tuwung Kuning lenyap dari pandangan dan yang terkena pedang hanyalah batang pisang tadi.
Melihat hal tersebut, Pan Tuwung Kuning mulai menyesali perbuatanya dan ia pun menangis tersedu-sedu. Sambil membawa potongan-potongan batang pisang, ia pun kembali ke rumahnya.
Sesampainya di rumah, ia meminta maaf kepada istri dan mertuanya. Lalu potongan batang pisang diberikan kepada ayam-ayamnya, namun mereka tidak ada yang mau memakannya.
Seketika timbulah kekecewaan pada Pan Tuwung Kuning terhadap semua ayamnya. Semua ayam jagonya dibuang dan mulai saat itu Pan Tuwung Kuning berjanji untuk tidak lagi mengadu ayam. Jelas hanya kesengsaraan yang timbul dari hobi buruknya itu hingga anak kandung menjadi korban.
Pan Tuwung Kuning mempunyai kegemaran mengadi ayam. Jumlah ayam aduannya banyak sekali sehingga memaksa istrinya untuk mengurusnya. Setiap siang suaminya hanya mengadu jago namun selalu kalah. Hal tersebut membuat rumah tangga mereka menjadi kacau dan suasana menjadi tidak tentram karena dalam keluarga tersebut sering terjadi pertengkaran. Keadaan seperti ini sangat susah diperbaiki, ditambah lagi seorang anak yang mereka idam-idamkan tidak kunjung datang.
Pada suatu hari Pan Tuwung berkata kepada istrinya, "Istriku, jika engkau melahirkan anak kelak dan ternyata anak itu laki-laki, ia akan kujadikan sebagai penggantiku dan meneruskan pekerjaanku sebagai pengadu ayam. Akan tetapi jika nanti anak kita perempuan, maka ia akan aku korbankan dan kujadikan dia sebagai makanan jagoku yang paling aku sayang."
Tidak menunggu lama, akhirnya istri Pan Tuwung hamil. Namun keadaan yang seharusnya menggembirakan ini menjadi pilu karena istrinya was-was dan kuatir. Ia takut jika nanti anak yang dikandungnya ternyata perempuan akan dijadikan korban.
Setiap hari selama mengandung Men Tuwung Kuning selalu berdoa agar kelak anak yang dilahirkan adalah seorang laki-laki. Namun ternyata kehendak Tuhan lain. Setelah tiba waktunya, Men Tuwung Kuning melahirkan seorang bayi perempuan yang lucu dan manis dan diberi nama Tuwung Kuning.
Kebetulan pada saat itu Pan Tuwung Kuning sedang bepergian jauh. Orang yang mendampingi Men Tuwung Kuning pada saat itu hanyalah ibunya.
"Bagaimana kalau bayi ini disembunyikan di rumah saya?" kata ibu Men Tuwung Kuning.
"Saya setuju, kalau begitu tolong bawa dan smebunyikan bayi ini di rumah ibu," jawab men Tuwung Kuning.
Lalu bayi itu dibawa pergi dari rumah Men Tuwung Kuning, sedangkan yang diberikan kepada ayam jago kesayangan suaminya hanyalah air-airnya.
Malam hari suaminya pulang dan langsung menanyakan tentang kelahiran anaknya. "Bagaimana? Anak kita laki-laki atau perempuan?" tanya Pan Tuwung Kuning.
"Perempuan," jawab Men Tuwung Kuning.
"Dimana dia sekarang?" sambung suaminya.
"Sudah aku sembelih dan aku korbankan sebagai makanan kepada jago-jago kesayanganmu."
Mendengar jawaban ini, puaslah hati suaminya. Namun, malam hari ayam kesayangannya berkokok dan berbicara, "Kukuruyuukkk...! Men Tuwung Kuning punya anak perempuan, tetapi aku hanya diberi makan air-airnya saja."
Ayam jago itu berkokok berulang-ulang. Mendengar hal tersebut, Pan Tuwung Kuning menjadi sangat marah dan ingin sekali membunuh istrinya. Akan tetapi sebelum niatnya dilaksanakan, ia kembali mendengar kokok ayam jagonya.
"Kukuruyuuukkk...! Anak Men Tuwung Kuning disembunyikan di rumah neneknya."
Mendnegar itu, Pan Tuwung Kuning bertambah marah. Ia lalu memerintahkan istrinya untuk mengambil kembali anaknya yang berada di rumah neneknya itu.
Keesokan harinya Men Tuwung Kuning lalu pergi ke rumah ibunya untuk mengambil anaknya. Setiba di sana Men Tuwung Kuning terkejut, karena didapatinya anak yang baru lahir kemarin telah berubah secara gaib menjadi seorang gadis remaja yang cantik dan pandai menenun kain. Ketika Tuwung Kuning mengetahui ibunya datang, lalu ia berkata, "Ibu, tunggu dulu sampai lusa, karena aku sedang menenun kain untuk pembungkus jenasahku nanti."
Dengan perasaan sedih Men Tuwung Kuning pulang dengan tangan hampa. Setelah tiba di rumah, ia segera di maki-maki oleh suaminya Pan Tuwung Kuning. Dua hari kemudian, dengan berat hati terpaksa Men Tuwung Kuning kembali menjemput anaknya. Di depan anaknya Men Tuwung Kuning berkata, "Wahai putriku Tuwung Kuning, cepat-cepatlah kau menenun kain. Ayahmu sudah selesai mengasah pedang untuk segera membunuhmu."
"Ibuku sayang, tunggulah dua hari lagi agar aku dapat menyelesaikan sehelai selendang untuk bekal matiku." jawab Tuwung Kuning dengan suara lembut.
Lalu Men Tuwung Kuning pulang ke rumahnya dnegan sedih. Setibanya dirumah, seperti biasa Men Tuwung Kuning kembali dimaki-maki oleh suaminya. Dua hari kemudian, pagi-pagi sekali suaminya berangkat sendiri ke rumah mertuanya. Ia membawa sebilah pedang yang sudah diasah dnegan tajam. Setiba di rumah mertuanya, ia menjadi sangat tercengang karena melihat putrinya yang amat cantik.
"Ayahku tercinta," sambut Tuwung Kuning melihat kedatangan ayahnya, "kini aku sudah siap memenuhi keinginanmu, tetapi dengan syarat sebagai berikut; yang pertama ayah harus membawa aku ke hutan. Setelah menemukan pohon yang terbesar di dalam hutan, di situlah ayah dapat membunuhku."
Sebelum berangkat, Tuwung Kuning memakai pakaian barunya yang beberapa hari lalu ditenunnya sendiri. Kemudian Pan Tuwung Kuning dan putrinya berjalan ke hutan. Setelah berjalan satu hari lamanya, sampailah mereka di sebuah pohon besar di tengah hutan.
"Tuwung Kining, bersiap-siaplah. Di sini engkau akan mati," demikian perintah ayahnya. Akan tetapi putrinya menolak dan berkata, "Ayah, aku tidak mau mati di sini. Pohon itu bukanlah pohon terbesar di hutan ini.
Pan Tuwung Kuning menerima penolakan anaknya. Kini mereka pun melanjutkan perjalanan sampai mereka menemukan pohon yang paling besar di hutan itu.
"Nah, Ayah, sekarang aku sudah siap untuk mati," kata Tuwung Kuning. Tolong ambilkan batang pohon pisang untuk bantak aku ayah."
Setelah berbaring, Tuwung kuning lalu berkata, "Ayah, sekarang sudah bisa dimulai."
Dengan mata yang berapi-api lalu dihunuslah pedang Pan tuwung Kuning dan bersiap untuk menyembeluh putrinya itu. Tetapi tiba-tiba tubuh Tuwung Kuning lenyap dari pandangan dan yang terkena pedang hanyalah batang pisang tadi.
Melihat hal tersebut, Pan Tuwung Kuning mulai menyesali perbuatanya dan ia pun menangis tersedu-sedu. Sambil membawa potongan-potongan batang pisang, ia pun kembali ke rumahnya.
Sesampainya di rumah, ia meminta maaf kepada istri dan mertuanya. Lalu potongan batang pisang diberikan kepada ayam-ayamnya, namun mereka tidak ada yang mau memakannya.
Seketika timbulah kekecewaan pada Pan Tuwung Kuning terhadap semua ayamnya. Semua ayam jagonya dibuang dan mulai saat itu Pan Tuwung Kuning berjanji untuk tidak lagi mengadu ayam. Jelas hanya kesengsaraan yang timbul dari hobi buruknya itu hingga anak kandung menjadi korban.